Toziwa, Inovasi Kesehatan Jiwa Desa Bangka Jaya
Oleh Ayu 'Ulya
“Kami buatkan RAB untuk kegiatan kesehatan jiwa. Alhamdulillah, Pak Keuchik kami menerima. Kalau untuk desa, kebaikan bersama, Pak Keuchik mendukung.” Kader Jiwa Desa Bangka Jaya
“It’s okay to not be okay,” tidak apa-apa merasa tidak baik-baik saja. Sepenggal tema drama dari negeri gingseng ini sempat menghebohkan jagat perfilman di pertengahan tahun 2020. Narasi yang menjadi pemantik kesadaran masyarakat dunia akan “ranah gelap” jiwa manusia. Tema tersebut semakin menghangat seiring pandemi menyapa. Stres dan kesepian (loneliness) menjadi isu yang populer dibahas, terutama sejak ultimatum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disahkan. Kini, masyarakat mulai menyadari betapa penting penjagaan kesehatan jiwa. Terkait hal itu, sebagian orang ada yang mulai berusaha mempelajari dan mendiskusikannya. Namun, ada juga sekelompok masyarakat yang sudah pada tahapan terobosan. Layaknya inovasi kesehatan jiwa yang digalakkan Desa Bangka Jaya melalui Forum TOZIWA.
Forum TOZIWA (Toga, Gizi, dan Jiwa) diresmikan bertepatan pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS), 10 Oktober 2020, di Desa Bangka Jaya, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. TOZIWA dibentuk oleh gampong sebagai wadah dan dukungan (support system) bagi masyarakat disabilitas psikososial dan juga keluarganya. Forum ini merupakan salah satu pencapaian desa melalui pendampingan Program Aceh Comprehensive Community Mental Health (ACCMH) yang dihadirkan oleh Forum Bangun Aceh (FBA).
“Dengan terbentuknya TOZIWA, masyarakat lebih mudah kita koordinasi dan bina. Ketika FBA masuk ke gampong, kami merasa cukup terbantu, perasaan cukup senang. FBA datang memperhatikan pasien. Nyoe hana sehat, han juet sapu ta peulaku.” Ungkap Keuchik Anwar Abdullah menjelaskan betapa pentingnya penjagaan kesehatan jiwa bagi masyarakatnya.
Tak hanya itu, Desa Bangka Jaya bahkan menjadi desa pertama yang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) bagi Kader Jiwa di Kecamatan Dewantara. Desa ini sudah mengalokasikan dana sekitar 8 juta rupiah untuk
Program Kesehatan Jiwa. Terobosan Desa Bangka Jaya itu tentunya tidak terlepas dari kehadiran Keuchik yang kooperatif, peranan Kader Jiwa yang peduli, dan kesuksesan advokasi CO (Community Organizer atau staf lapangan) FBA melalui Program ACCMH yang dimulai sejak Januari 2019.
“Kami buatkan RAB untuk kegiatan kesehatan jiwa. Alhamdulillah, Pak Keuchik kami menerima. Kalau untuk desa, kebaikan bersama, Pak Keuchik mendukung.” Papar Risma, Ketua Kader Kesehatan Jiwa Bangka Jaya.
Dari 2000-an Kepala Keluarga (KK) yang menghuni Desa Bangka Jaya, ada 22 orang dengan disabilitas psikososial (ODDP). Dua diantaranya adalah Nazariah (24 tahun) dan Nanda Lukman (25 tahun). Keduanya menjadi penerima manfaat (beneficiaries) berupa pendampingan livelihood melalui program ACCMH. Tentunya, respons hangat Pemuka Gampong dan masyarakat setempatlah yang membuka peluang bagi FBA untuk melakukan advokasi.
Pendampingan Program ACCMH pada dasarnya dikhususkan bagi ODDP. Tujuannya agar mereka memiliki rutinitas positif. Sehingga, kegiatan tersebut dapat membangkitkan kepercayaan diri, membuka kesempatan untuk bergaul dengan masyarakat sekitarnya, dan turut mendongkrak kemandirian finansial.
“Kita ada bantu dua benef di desa Bangka Jaya. Yang pertama sudah sukses, namanya Nazariah. Malah sewaktu acara TOZIWA itu, keluarganya juga kita undang. Biar nyambung.” Jelas Yufaizan (CO) menekankan pentingnya keterlibatan lintas pihak, termasuk keluarga, dalam proses pendampingan.
Nazariah mengalami disabilitas psikososial sejak usia 18 tahun. Oleh dokter, dia juga diagnosa epilepsi. Hal itu terjadi setelah keluarganya
mengalami konflik dan kedua orang tuanya bercerai. Secara ekonomi, Nazariah dan keluarganya juga tergolong miskin.
Sebelum bertemu FBA, Nazariah bekerja sebagai buruh pencetak batu bata yang dibayar Rp.50,- perbiji. Namun, dikarenakan kondisi kesehatan jiwanya yang buruk, epilepsinya kerap kambuh, dia pun sering jatuh karena tiba-tiba pingsan di lokasi tempatnya bekerja. Hal tersebut bukan hanya membahayakan keselamatannya, namun juga meresahkan sang ibu.
Setelah melakukan diskusi bersama CO, Nazariah pun diberikan pendampingan livelihood berupa peralatan pendukung usaha pemanfaatan sal batu bata miliknya sendiri. Melalui bantuan perputaran modal tersebut, Nazariah terlihat lebih bersemangat. Selain karena dia telah memiliki usaha mandiri, lokasi sal batu bata tersebut juga terjangkau dari rumahnya.
“Alhamdulillah, sekarang relapsnya semakin jarang. Sudah jarang kambuh epilepsi, jatuh-jatuh. Berobat tetap rutin. Sudah mampu memproduksi batu bata secara mandiri. Dijual hingga 21.000 biji. Malah sekarang sudah punya tabungan, 2 juta katanya. Itu uang di luar perputaran modal. Kata Nazariah, dia bercita-cita mau beli kereta (motor) sendiri.” Ungkap Yufaizan penuh empati.
Adapun Nanda Lukman, dia masih dalam awal proses pendampingan. Dia adalah seorang disabilitas psikososial karena perceraian orang tua dan penyalahgunaan narkoba. Kini, dia hidup bersama ibunya yang berusia 56 tahun. Melalui Program ACCMH, dia mendapatkan pendampingan livelihood berupa pemberian bibit bebek petelur dan pedaging beserta peralatan pendukung.
“Saat acara seremonial TOZIWA itu, saya tanya Keuchik, ‘Pak, ini ada satu benef lagi, bagaimana?’ Beliau jawab, ‘Oh, boleh-boleh. Kalau perlu saya dampingi, saya siap.’ Begitu kata Keuchik. Beliau menerima sepenuh hati.” Kisah Yufaizan terkait pengusulan penambahan penerima manfaat Program ACCMH setelah keberhasilan pendampingan Nazariah.
Bagi Yufaizan, perannya sebagai CO FBA di Desa Bangka Jaya adalah melakukan advokasi. Sehingga Pemerintahan Desa dan masyarakat disabilitas psikososial dapat saling terkoneksi. Baginya, dibutuhkan kepedulian tinggi lintas lini agar permasalahan psikososial tersebut dapat teratasi. Menjadi sebuah kepuasan tersendiri baginya jika kelak Desa Bangka Jaya mampu berkembang secara mandiri.
Sejalan dengan cita-cita tersebut, Risma, menjelaskan bahwa pembentukan TOZIWA bertujuan untuk menghadirkan wadah kegiatan bagi ODDP yang telah mandiri. Sehingga, mereka punya tempat untuk beraktivitas.
“Penting sekali memiliki wadah untuk kesehatan jiwa. Reaksi setiap yang sakit kan beda- beda. TOZIWA bukan sekadar wadah untuk berobat, namun juga sebagai tempat curhat, berkonsultasi. Sehingga pasien atau keluarganya tidak merasa sendiri. Tidak stres. Jadi, kita berharap masyarakat yang sakit jadi sehat. Keluarga yang berisiko jadi sehat. Serta yang sudah sehat semakin sehat.” Tutup Risma berharap dengan tulus.
“It’s okay to not be okay,” tidak apa-apa merasa tidak baik-baik saja. Sepenggal tema drama dari negeri gingseng ini sempat menghebohkan jagat perfilman di pertengahan tahun 2020. Narasi yang menjadi pemantik kesadaran masyarakat dunia akan “ranah gelap” jiwa manusia. Tema tersebut semakin menghangat seiring pandemi menyapa. Stres dan kesepian (loneliness) menjadi isu yang populer dibahas, terutama sejak ultimatum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disahkan. Kini, masyarakat mulai menyadari betapa penting penjagaan kesehatan jiwa. Terkait hal itu, sebagian orang ada yang mulai berusaha mempelajari dan mendiskusikannya. Namun, ada juga sekelompok masyarakat yang sudah pada tahapan terobosan. Layaknya inovasi kesehatan jiwa yang digalakkan Desa Bangka Jaya melalui Forum TOZIWA.
Forum TOZIWA (Toga, Gizi, dan Jiwa) diresmikan bertepatan pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS), 10 Oktober 2020, di Desa Bangka Jaya, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. TOZIWA dibentuk oleh gampong sebagai wadah dan dukungan (support system) bagi masyarakat disabilitas psikososial dan juga keluarganya. Forum ini merupakan salah satu pencapaian desa melalui pendampingan Program Aceh Comprehensive Community Mental Health (ACCMH) yang dihadirkan oleh Forum Bangun Aceh (FBA).
“Dengan terbentuknya TOZIWA, masyarakat lebih mudah kita koordinasi dan bina. Ketika FBA masuk ke gampong, kami merasa cukup terbantu, perasaan cukup senang. FBA datang memperhatikan pasien. Nyoe hana sehat, han juet sapu ta peulaku.” Ungkap Keuchik Anwar Abdullah menjelaskan betapa pentingnya penjagaan kesehatan jiwa bagi masyarakatnya.
Tak hanya itu, Desa Bangka Jaya bahkan menjadi desa pertama yang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) bagi Kader Jiwa di Kecamatan Dewantara. Desa ini sudah mengalokasikan dana sekitar 8 juta rupiah untuk
Program Kesehatan Jiwa. Terobosan Desa Bangka Jaya itu tentunya tidak terlepas dari kehadiran Keuchik yang kooperatif, peranan Kader Jiwa yang peduli, dan kesuksesan advokasi CO (Community Organizer atau staf lapangan) FBA melalui Program ACCMH yang dimulai sejak Januari 2019.
“Kami buatkan RAB untuk kegiatan kesehatan jiwa. Alhamdulillah, Pak Keuchik kami menerima. Kalau untuk desa, kebaikan bersama, Pak Keuchik mendukung.” Papar Risma, Ketua Kader Kesehatan Jiwa Bangka Jaya.
Dari 2000-an Kepala Keluarga (KK) yang menghuni Desa Bangka Jaya, ada 22 orang dengan disabilitas psikososial (ODDP). Dua diantaranya adalah Nazariah (24 tahun) dan Nanda Lukman (25 tahun). Keduanya menjadi penerima manfaat (beneficiaries) berupa pendampingan livelihood melalui program ACCMH. Tentunya, respons hangat Pemuka Gampong dan masyarakat setempatlah yang membuka peluang bagi FBA untuk melakukan advokasi.
Pendampingan Program ACCMH pada dasarnya dikhususkan bagi ODDP. Tujuannya agar mereka memiliki rutinitas positif. Sehingga, kegiatan tersebut dapat membangkitkan kepercayaan diri, membuka kesempatan untuk bergaul dengan masyarakat sekitarnya, dan turut mendongkrak kemandirian finansial.
“Kita ada bantu dua benef di desa Bangka Jaya. Yang pertama sudah sukses, namanya Nazariah. Malah sewaktu acara TOZIWA itu, keluarganya juga kita undang. Biar nyambung.” Jelas Yufaizan (CO) menekankan pentingnya keterlibatan lintas pihak, termasuk keluarga, dalam proses pendampingan.
Nazariah mengalami disabilitas psikososial sejak usia 18 tahun. Oleh dokter, dia juga diagnosa epilepsi. Hal itu terjadi setelah keluarganya
mengalami konflik dan kedua orang tuanya bercerai. Secara ekonomi, Nazariah dan keluarganya juga tergolong miskin.
Sebelum bertemu FBA, Nazariah bekerja sebagai buruh pencetak batu bata yang dibayar Rp.50,- perbiji. Namun, dikarenakan kondisi kesehatan jiwanya yang buruk, epilepsinya kerap kambuh, dia pun sering jatuh karena tiba-tiba pingsan di lokasi tempatnya bekerja. Hal tersebut bukan hanya membahayakan keselamatannya, namun juga meresahkan sang ibu.
Setelah melakukan diskusi bersama CO, Nazariah pun diberikan pendampingan livelihood berupa peralatan pendukung usaha pemanfaatan sal batu bata miliknya sendiri. Melalui bantuan perputaran modal tersebut, Nazariah terlihat lebih bersemangat. Selain karena dia telah memiliki usaha mandiri, lokasi sal batu bata tersebut juga terjangkau dari rumahnya.
“Alhamdulillah, sekarang relapsnya semakin jarang. Sudah jarang kambuh epilepsi, jatuh-jatuh. Berobat tetap rutin. Sudah mampu memproduksi batu bata secara mandiri. Dijual hingga 21.000 biji. Malah sekarang sudah punya tabungan, 2 juta katanya. Itu uang di luar perputaran modal. Kata Nazariah, dia bercita-cita mau beli kereta (motor) sendiri.” Ungkap Yufaizan penuh empati.
Adapun Nanda Lukman, dia masih dalam awal proses pendampingan. Dia adalah seorang disabilitas psikososial karena perceraian orang tua dan penyalahgunaan narkoba. Kini, dia hidup bersama ibunya yang berusia 56 tahun. Melalui Program ACCMH, dia mendapatkan pendampingan livelihood berupa pemberian bibit bebek petelur dan pedaging beserta peralatan pendukung.
“Saat acara seremonial TOZIWA itu, saya tanya Keuchik, ‘Pak, ini ada satu benef lagi, bagaimana?’ Beliau jawab, ‘Oh, boleh-boleh. Kalau perlu saya dampingi, saya siap.’ Begitu kata Keuchik. Beliau menerima sepenuh hati.” Kisah Yufaizan terkait pengusulan penambahan penerima manfaat Program ACCMH setelah keberhasilan pendampingan Nazariah.
Bagi Yufaizan, perannya sebagai CO FBA di Desa Bangka Jaya adalah melakukan advokasi. Sehingga Pemerintahan Desa dan masyarakat disabilitas psikososial dapat saling terkoneksi. Baginya, dibutuhkan kepedulian tinggi lintas lini agar permasalahan psikososial tersebut dapat teratasi. Menjadi sebuah kepuasan tersendiri baginya jika kelak Desa Bangka Jaya mampu berkembang secara mandiri.
Sejalan dengan cita-cita tersebut, Risma, menjelaskan bahwa pembentukan TOZIWA bertujuan untuk menghadirkan wadah kegiatan bagi ODDP yang telah mandiri. Sehingga, mereka punya tempat untuk beraktivitas.
“Penting sekali memiliki wadah untuk kesehatan jiwa. Reaksi setiap yang sakit kan beda- beda. TOZIWA bukan sekadar wadah untuk berobat, namun juga sebagai tempat curhat, berkonsultasi. Sehingga pasien atau keluarganya tidak merasa sendiri. Tidak stres. Jadi, kita berharap masyarakat yang sakit jadi sehat. Keluarga yang berisiko jadi sehat. Serta yang sudah sehat semakin sehat.” Tutup Risma berharap dengan tulus.