Ruwaida Pulih dari Sakit, Berkat Kesetiaan Suami Merawatnya
Oleh Yelli Sustarina
Sampai di tengah pematang sawah itu, saya menguatkan pegangan di bahu suami dan memintanya untuk berhati-hati. Rasanya tidak mungkin melewati jalan kecil ini dengan sepeda motor. Saya menutup mata sambil berusaha menegakkan badan untuk menjaga keseimbangan, khawatir kalau sedikit saja oleng bisa-bisa malah kami jatuh ke dalam sawah. Beruntung saat itu sawahnya dalam keadaan kering karena baru siap panen, sehingga pematang itu tidak becek dan mudah dilalui. Namun, yang membuat saya ngeri karena pematang yang dilalui cukup panjang dengan lebar jalan hanya sekitar 60 cm saja. Hanya orang-orang yang ahli membawa sepeda motor yang bisa melewati jalanan ini, tapi tentunya dengan penuh kehati-hatian.
“Pegangan yang kuat ya, insyaallah saya bisa melewatinya”
Sudarliadi-suami saya yang sama-sama ikut dengan saya melajukan sepeda motornya dengan kencang, melewati pematang sawah yang panjangnya sekitar 200 meter itu. Setang motornya sempat oleng karena menghindari lubang-lubang kecil. Saya sempat menahan nafas saat duduk di belakangnya, berharap cepat sampai ke rumah yang kami tuju.
Di ujung pematang yang menyatu dengan sebidang tanah, tampak kandang kambing dengan beberapa kambing di dalamnya. Di belakangnya ada sebuah rumah yang bertempelkan stiker Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) Kemensos RI. Di situlah Ruwaida (48 tahun) bersama suami dan dua anaknya tinggal 3 tahun terakhir, tepatnya di Gampong Lamsiem, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. Rumah itu pinjaman dari salah satu warga yang berbaik hati kepada mereka. Lahan di sekitarnya digunakan Zainudin, suami Ruwaida untuk bercocok tanam.
Saya, suami, dan Novi Indriany selaku Community Organizer (CO) yang membawa kami ke tempat ini, tiba di depan rumah yang berdindingkan papan itu. Perempuan yang akrab disapa Novi inilah yang mendampingi keluarga Ruwaida melalui program Aceh Community Based Inclusive Development (ACBID). Sejak tahun 2019 lalu, ia rutin mengunjungi Ruwaida sembari memberi dukungan melalui bantuan pendampingan ekonomi oleh Forum Bangun Aceh (FBA). Kami pun dikenalkan kepada perempuan paruh baya yang bernama Ruwaida.
Ruwaida menyambut kami dengan hangat, seakan kedatangan kami sudah dinantikan dari tadi. Kami pun dipersilakan duduk di ruang tamunya. Tidak terlihat perabotan apa pun di situ, hanya sebuah brangkar yang digunakan Ruwaida sebagai tempat beristirahat. Di situlah ia terbaring lemah dulunya, kurang lebih selama 18 bulan.
Dengan menggunakan tongkat Ruwaida yang tadi duduk di atas brankar, beranjak menuju dapur. “Ayah, na jamee nyoe,” teriak Ruwaida ke suaminya yang sedang asyik berkebun di belakang rumah.
Ruwaida kembali menemui kami dan duduk di brankarnya. Ia meminta maaf karena tidak bisa duduk bersama dengan kami di lantai yang beralaskan tikar pandan. Pasca pulih dari sakitnya, Ruwaida tidak bisa melipatkan kaki, duduk bersila di lantai. Ibu dari tiga anak ini hanya bisa duduk dengan kaki berjuntai dan gerakan yang sangat terbatas. Namun, ia sangat bersyukur bisa melakukan itu karena sebelumnya hanya bisa tidur terlentang di atas brankar.
Zainudin masuk melalui pintu depan, lalu menyalami kami satu persatu. Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan ayah itu oleh Ruwaida ialah ayah dari anak-anaknya. Dialah orang yang merawatnya selama sakit dan mengupayakan berbagai cara untuk kepulihan Ruwaida, termasuk rela menjual rumah yang baru saja dibuatnya untuk biaya pengobatan istri tercinta.
Peran Suami dalam Kepulihan Ruwaida
Selama kurang lebih 18 bulan Zainudin mengambil peran istrinya untuk mengurus rumah sekaligus merawat Ruwaida yang tidak berdaya. Semua kebutuhan Ruwaida dibantu oleh suaminya, termasuk urusan makan, buang air besar dan kecil. Ruwaida sempat lumpuh setelah jatuh dari kursi saat membersihkan plafon rumah yang baru dibangun oleh suaminya.
Ia pernah berobat ke dokter dan mendapatkan penangan medis, tapi tidak ada perubahan apa pun yang dialaminya. Ruwaida sempat dirawat lama di rumah sakit. Namun, keadaannya pun semakin memburuk, hingga akhirnya Zainudin memutuskan untuk membawa Ruwaida pulang dan merawatnya di rumah. Obat-obat yang diresepkan dokter tetap diberikan kepada Ruwaida, tapi ia juga rajin membawa Ruwaida ke pengobatan alternatif.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Zainudin pernah ditipu oleh orang yang mengaku bisa menjamin kesembuhan Ruwaida. Ia diminta untuk menyediakan uang sebanyak Rp 5.000.000. Tanpa pikir panjang, demi mengharap kesembuhan sang istri, Zainudin pun memberikan uang tersebut. Rupanya orang tersebut menghilang tanpa bisa dihubungi kembali. Tidak jera dengan itu, Zainudin tetap mencari tempat pengobatan alternatif lainnya yang bisa menyembuhkan istrinya. Hingga akhirnya ia menemukan orang yang cocok. Ruwaida diobati dengan cara diurut di bagian punggung dan kakinya. Setiap malam Ruwaida dibawa ke tempat tersebut karena menurutnya ada perubahan yang dialami Ruwaida setalah diurut. Dari yang mulanya kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali, kini sudah bisa bergerak dan akhirnya berjalan walau menggunakan tongkat.
Biaya pengobatan Ruwaida pun tidak tanggung-tanggung. Setiap malam Zainudin harus merogoh uang sebesar Rp. 150.000 untuk biaya tranportasi ke tempat pengobatan. Sebab, ia harus menyewa mobil untuk bisa mengantarkan Ruwaida ke Kampung Pineung, tempat pengobatan alternatif tersebut. Setiap kali urut, dikenakan biaya Rp. 40.000. “Itu hanya untuk semalam. Bayangkan hal seperti itu kami lakukan setiap malam sampai Ibu benar-benar bisa berjalan lagi,” ujar Zainudin dengan mata berkaca-kaca.
Untuk menekan biaya transportasi selama pengobatan, Zainudin memodifikasi sepeda motornya supaya bisa dinaiki Ruwaida. Ia meletakan bilahan bambu untuk menompang kaki Ruwaida ketika dinaikkan di atas sepeda motornya. Dengan cara seperti itulah ia bisa membawa istrinya. Hal ini terpaksa dilakukannya karena keterbatasan biaya, terlebih ia tidak bisa bekerja selama istrinya sakit. Belum lagi dengan biaya kebutuhan sehari-hari seperti makan dan pampers untuk Ruwaida. Setiap tiga hari sekali Zainudin harus mengeluarkan uang Rp. 49.000 untuk membeli pampers. Untunglah ada uang hasil dari penjualan rumah Zainudin yang digunakan untuk pengobatan Ruwaida. Zainudin yang sebelumnya bekerja sebagai penjual lembu, kini harus berhenti dari pekerjaannya. Sebab, ia lebih memilih fokus untuk merawat istrinya. Barulah ketika Ruwaida bisa berjalan, Zainudin bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuahan sehari-hari karena uang hasil penjualan rumah sudah habis untuk pengobatan Ruwaida.
Untuk urusan kerja, Zainudin tidak pilih-pilih. Dia mau mengerjakan apa saja yang penting halal. Namun, ia tidak bisa bekerja jauh dan meninggalkan Ruwaida dalam waktu yang lama. Sebab, Ruwaida masih bergantung pada suaminya, terutama untuk urusan domestik, seperti memasak, mencuci pakaian, dan lainnya. Oleh karena itulah, Zainudin lebih memilih bekebun dan menjaga ternak milik orang lain di perkarangan rumahnya.
Awalnya Zainudin menanam cabai, mentimun, dan apa saja yang bisa ditanam dengan peralatan seadanya. Namun, semenjak ada pendampingan dari FBA, ia mendapatkan bantuan berupa berbagai macam bibit tanaman, mesin air, alat semprot, dan pearalatan tani. Walau tidak banyak, sedikit ada membantu memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Hasil panen dari tanaman tersebut dapat digunakan untuk kebutuahan sehari-hari. Bila hasil penen berlimpah, ia membagikannya ke pemilik lahan sebagai ucapan terima kasih. Bahkan, Novi juga pernah diberikan mentimun dari hasil tanaman yang dikelola Zainudian.
Meskipun dalam keadaan susah, suami-istri ini tampak begitu bahagia tinggal di rumah seadanya. Walau terbesit di hati keduanya untuk bisa mempunyai rumah kembali. Namun, kebersamaan dan kesetiaanlah yang membawa mereka bisa melalui cobaan ini hingga akhirnya Ruwaida pulih dari sakitnya.
Saya tertegun mendengar kisah perjuangan suami istri ini, begitu juga dengan suami saya. Kisah ini menjadi pembelajaran buat kami berdua, bahwa kesetiaanlah yang membawa rumah tangga bahagia. Seberat apa pun ujian yang menantang, bisa juga dilewati berkat kesetiaan.
Saat di perjalanan pulang melalui pematang sawah itu, saya membayangkan bagaimana Zainudin membawa Ruwaida dengan sepeda motornya dalam kondisi sakit saat itu. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Saya pun mengencangkan pegangan di pinggang suami, berharap ia bisa setia mendampingi dalam berbagai kondisi.
“Pegangan yang kuat ya, insyaallah saya bisa melewatinya”
Sudarliadi-suami saya yang sama-sama ikut dengan saya melajukan sepeda motornya dengan kencang, melewati pematang sawah yang panjangnya sekitar 200 meter itu. Setang motornya sempat oleng karena menghindari lubang-lubang kecil. Saya sempat menahan nafas saat duduk di belakangnya, berharap cepat sampai ke rumah yang kami tuju.
Di ujung pematang yang menyatu dengan sebidang tanah, tampak kandang kambing dengan beberapa kambing di dalamnya. Di belakangnya ada sebuah rumah yang bertempelkan stiker Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) Kemensos RI. Di situlah Ruwaida (48 tahun) bersama suami dan dua anaknya tinggal 3 tahun terakhir, tepatnya di Gampong Lamsiem, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. Rumah itu pinjaman dari salah satu warga yang berbaik hati kepada mereka. Lahan di sekitarnya digunakan Zainudin, suami Ruwaida untuk bercocok tanam.
Saya, suami, dan Novi Indriany selaku Community Organizer (CO) yang membawa kami ke tempat ini, tiba di depan rumah yang berdindingkan papan itu. Perempuan yang akrab disapa Novi inilah yang mendampingi keluarga Ruwaida melalui program Aceh Community Based Inclusive Development (ACBID). Sejak tahun 2019 lalu, ia rutin mengunjungi Ruwaida sembari memberi dukungan melalui bantuan pendampingan ekonomi oleh Forum Bangun Aceh (FBA). Kami pun dikenalkan kepada perempuan paruh baya yang bernama Ruwaida.
Ruwaida menyambut kami dengan hangat, seakan kedatangan kami sudah dinantikan dari tadi. Kami pun dipersilakan duduk di ruang tamunya. Tidak terlihat perabotan apa pun di situ, hanya sebuah brangkar yang digunakan Ruwaida sebagai tempat beristirahat. Di situlah ia terbaring lemah dulunya, kurang lebih selama 18 bulan.
Dengan menggunakan tongkat Ruwaida yang tadi duduk di atas brankar, beranjak menuju dapur. “Ayah, na jamee nyoe,” teriak Ruwaida ke suaminya yang sedang asyik berkebun di belakang rumah.
Ruwaida kembali menemui kami dan duduk di brankarnya. Ia meminta maaf karena tidak bisa duduk bersama dengan kami di lantai yang beralaskan tikar pandan. Pasca pulih dari sakitnya, Ruwaida tidak bisa melipatkan kaki, duduk bersila di lantai. Ibu dari tiga anak ini hanya bisa duduk dengan kaki berjuntai dan gerakan yang sangat terbatas. Namun, ia sangat bersyukur bisa melakukan itu karena sebelumnya hanya bisa tidur terlentang di atas brankar.
Zainudin masuk melalui pintu depan, lalu menyalami kami satu persatu. Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan ayah itu oleh Ruwaida ialah ayah dari anak-anaknya. Dialah orang yang merawatnya selama sakit dan mengupayakan berbagai cara untuk kepulihan Ruwaida, termasuk rela menjual rumah yang baru saja dibuatnya untuk biaya pengobatan istri tercinta.
Peran Suami dalam Kepulihan Ruwaida
Selama kurang lebih 18 bulan Zainudin mengambil peran istrinya untuk mengurus rumah sekaligus merawat Ruwaida yang tidak berdaya. Semua kebutuhan Ruwaida dibantu oleh suaminya, termasuk urusan makan, buang air besar dan kecil. Ruwaida sempat lumpuh setelah jatuh dari kursi saat membersihkan plafon rumah yang baru dibangun oleh suaminya.
Ia pernah berobat ke dokter dan mendapatkan penangan medis, tapi tidak ada perubahan apa pun yang dialaminya. Ruwaida sempat dirawat lama di rumah sakit. Namun, keadaannya pun semakin memburuk, hingga akhirnya Zainudin memutuskan untuk membawa Ruwaida pulang dan merawatnya di rumah. Obat-obat yang diresepkan dokter tetap diberikan kepada Ruwaida, tapi ia juga rajin membawa Ruwaida ke pengobatan alternatif.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Zainudin pernah ditipu oleh orang yang mengaku bisa menjamin kesembuhan Ruwaida. Ia diminta untuk menyediakan uang sebanyak Rp 5.000.000. Tanpa pikir panjang, demi mengharap kesembuhan sang istri, Zainudin pun memberikan uang tersebut. Rupanya orang tersebut menghilang tanpa bisa dihubungi kembali. Tidak jera dengan itu, Zainudin tetap mencari tempat pengobatan alternatif lainnya yang bisa menyembuhkan istrinya. Hingga akhirnya ia menemukan orang yang cocok. Ruwaida diobati dengan cara diurut di bagian punggung dan kakinya. Setiap malam Ruwaida dibawa ke tempat tersebut karena menurutnya ada perubahan yang dialami Ruwaida setalah diurut. Dari yang mulanya kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali, kini sudah bisa bergerak dan akhirnya berjalan walau menggunakan tongkat.
Biaya pengobatan Ruwaida pun tidak tanggung-tanggung. Setiap malam Zainudin harus merogoh uang sebesar Rp. 150.000 untuk biaya tranportasi ke tempat pengobatan. Sebab, ia harus menyewa mobil untuk bisa mengantarkan Ruwaida ke Kampung Pineung, tempat pengobatan alternatif tersebut. Setiap kali urut, dikenakan biaya Rp. 40.000. “Itu hanya untuk semalam. Bayangkan hal seperti itu kami lakukan setiap malam sampai Ibu benar-benar bisa berjalan lagi,” ujar Zainudin dengan mata berkaca-kaca.
Untuk menekan biaya transportasi selama pengobatan, Zainudin memodifikasi sepeda motornya supaya bisa dinaiki Ruwaida. Ia meletakan bilahan bambu untuk menompang kaki Ruwaida ketika dinaikkan di atas sepeda motornya. Dengan cara seperti itulah ia bisa membawa istrinya. Hal ini terpaksa dilakukannya karena keterbatasan biaya, terlebih ia tidak bisa bekerja selama istrinya sakit. Belum lagi dengan biaya kebutuhan sehari-hari seperti makan dan pampers untuk Ruwaida. Setiap tiga hari sekali Zainudin harus mengeluarkan uang Rp. 49.000 untuk membeli pampers. Untunglah ada uang hasil dari penjualan rumah Zainudin yang digunakan untuk pengobatan Ruwaida. Zainudin yang sebelumnya bekerja sebagai penjual lembu, kini harus berhenti dari pekerjaannya. Sebab, ia lebih memilih fokus untuk merawat istrinya. Barulah ketika Ruwaida bisa berjalan, Zainudin bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuahan sehari-hari karena uang hasil penjualan rumah sudah habis untuk pengobatan Ruwaida.
Untuk urusan kerja, Zainudin tidak pilih-pilih. Dia mau mengerjakan apa saja yang penting halal. Namun, ia tidak bisa bekerja jauh dan meninggalkan Ruwaida dalam waktu yang lama. Sebab, Ruwaida masih bergantung pada suaminya, terutama untuk urusan domestik, seperti memasak, mencuci pakaian, dan lainnya. Oleh karena itulah, Zainudin lebih memilih bekebun dan menjaga ternak milik orang lain di perkarangan rumahnya.
Awalnya Zainudin menanam cabai, mentimun, dan apa saja yang bisa ditanam dengan peralatan seadanya. Namun, semenjak ada pendampingan dari FBA, ia mendapatkan bantuan berupa berbagai macam bibit tanaman, mesin air, alat semprot, dan pearalatan tani. Walau tidak banyak, sedikit ada membantu memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Hasil panen dari tanaman tersebut dapat digunakan untuk kebutuahan sehari-hari. Bila hasil penen berlimpah, ia membagikannya ke pemilik lahan sebagai ucapan terima kasih. Bahkan, Novi juga pernah diberikan mentimun dari hasil tanaman yang dikelola Zainudian.
Meskipun dalam keadaan susah, suami-istri ini tampak begitu bahagia tinggal di rumah seadanya. Walau terbesit di hati keduanya untuk bisa mempunyai rumah kembali. Namun, kebersamaan dan kesetiaanlah yang membawa mereka bisa melalui cobaan ini hingga akhirnya Ruwaida pulih dari sakitnya.
Saya tertegun mendengar kisah perjuangan suami istri ini, begitu juga dengan suami saya. Kisah ini menjadi pembelajaran buat kami berdua, bahwa kesetiaanlah yang membawa rumah tangga bahagia. Seberat apa pun ujian yang menantang, bisa juga dilewati berkat kesetiaan.
Saat di perjalanan pulang melalui pematang sawah itu, saya membayangkan bagaimana Zainudin membawa Ruwaida dengan sepeda motornya dalam kondisi sakit saat itu. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Saya pun mengencangkan pegangan di pinggang suami, berharap ia bisa setia mendampingi dalam berbagai kondisi.