Dari Hanif: Makna Belajar Teruraikan
Oleh Aula Andika Al-Balad
Usianya masih sangat muda, Hanif Saputra baru menginjak usia 25 tahun per 2020 ini. Harapan dan cita-cita tentu masih sangat terbentang luas baginya. Soekarno, sang proklamator Indonesia, dimasa hidupnya pernah mengangkat topi dan mengatakan “berikan kepadaku 10 orang pemuda, niscaya akan ku goncangkan seluruh isi dunia.” Kalimat itu bahkan menjadi supporting statement yang menandakan betapa pentingnya sosok pemuda dalam peradaban umat manusia ini.
Tapi siapa sangka, sosok pemuda yang satu ini dan di usianya yang masih belia. Ia telah dihadapkan pada pilihan hidup yang tidak semua orang mampu
melakoninya. Disabilitas psikososial atau gangguan kejiwaan telah menghiasi perjalanannya di usia muda. Kondisi percerain orang tua dan tekanan sosial telah menghantarkannya menikmati sensasi sesaat yang ditawarkan oleh narkoba hingga ia mengalami disabilitas psikososial atau gangguan kejiwaan.
Kejadian tragis menimpa keluarga Hanif ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk mengakhiri ikatan suci pernikahan. Hanif yang saat itu masih berumur belasan tahun harus merasakan dampak dari perceraian itu. Kekurangan kasih sayang, perhatian, dan cinta dari kedua orang tua menyebabkan Hanif mengurung diri. Ditambah dengan kondisi sang ibu yang memilih profesi yang tak lazim untuk menyambung ekonomi keluarganya. Mengemis adalah lakon yang dipilih ibunya. “Hanif malu, sangat malu,” ungkapnya. Kecewa dan bingung akan kisah hidup yang ada. Hanif melampiaskan diri pada narkoba berjenis sabu. Lama ia terbuai dalam lamunan sesaat akan sabu-sabu menyebabkan si bungsu tak dapat mengontrol emosinya. Acap kali, ia merusak perkarangannya. Memukul orang yang berada di sekitarnya. Jangan diharapkan adanya komunikasi yang baik yang terjalin dengannya saat itu. Bahkan menganiaya diri sendiri juga kerap dilakukannya.
‘Keanehan’ yang terjadiSaban hari, kondisi Hanif semakin tak terurus. Laporan yang tim Forum Bangun Aceh/FBA terima dari salah satu Community Organizer (CO-staf lapangan) yang selama ini mendampingi penderita disabilitas psikososial dikawasan Kuta Baro, Aceh Besar menyebutkan bahwa obat untuk Hanif tersalurkan dengan lancar. Namun sayang sekali, pada praktiknya Hanif tidak pernah mengkonsumsi obat tersebut. Kemana? Wallahualam. Di lain sisi, sang ibu masih tetap saja melakoni profesi tersebut. Meski binaan dan bantuan dari aparatur gampong untuk membantunya lebih mandiri secara financial tampaknya tak berpengaruh besar padanya. Mengemis masih terus dilakukannya. Hanif semakin tak terperhatikan.
Perlahan tapi pastiTapi bukan Hanif namanya, jika tidak berhasil bangkit dari segala keterpurukan yang sedang menimpanya saat itu. Awal mula perdampingan, tim dari FBA belum berhasil menemui Hanif secara langsung. Kondisinya saat itu yang tak menerima pendatang baru dalam hidupnya. Jika terlalu dipaksakan maka ia akan merusak dan bahkan akan menyakiti diri sendiri. Maka, strategi yang dilakukan pada awalnya adalah melakukan pendekatan melalui sepupu Hanif, Ida namanya. Melalui Ida, tim berhasil mengontrol perkembangan Hanif. Saban hari, cahaya kehidupan terpancar cerah dari diri Hanif. Ia sudah mau berkomunikasi, mengontrol emosi, tidak lagi memukul, menyakiti diri sendiri, dan merusak pekarangan. Obat pun semakin rajin ia konsumsi. Hanif semakin tumbuh baik.
Maka, kala kondisi Hanif sudah menunjukkan perkembangan pesat. Tim FBA yang sejak awal itu didampingi oleh beberapa perawat dari puskesmas terdekat melakukan assessment dengan tujuan mengukur sejauh mana kesiapan Hanif mengelola kegiatan bersifat produktif.
Passion yang tersembunyiTim FBA, dan didukung oleh perawat jiwa Puskesmas Kuta Baro, suatu waktu mengajak Hanif untuk berkelilingi ke sebuah peternakan kambing yang terletak tak jauh dari kediamannya. Tiba dilokasi. Hanif dengan cekatan berbicara dengan pemilik peternakan. Dari jauh tim hanya menyaksikan mereka berbincang tanpa ikut terlibat dalam perbincangan dua lelaki tersebut.
“Hanif jeut magang disinoe, bg? (Hanif boleh magang di sini, bg?)” tanya tim FBA ke pemilik peternakan kambing tersebut. “Nyoe Hanif, hana cocok le untuk magang kak. Jih bah dipeulara kameng laju keudroe. (Hanif tidak cocok untuk magang di sini, kak. Dia sudah lebih pantas untuk mengelola ternaknya sendiri)” jawab pemilik peternakan. “Hanif sangat siap. Dia sudah mengetahui tak hanya ilmu dasar bagaimana merawat ternak tapi juga bagaimana berkomunikasi dengannya. Kedengarannya weird tapi itu lah kelebihannya yang tak semua orang ‘pemilik kambing miliki’. Coba lihat cara ia memperhatinkan ternak itu.” Sebutnya sambil menunjuk kearah Hanif yang berada di samping kandang.
Bak siang menjemput malam. Kabar ini tentu menjadi hadiah bagi tim FBA yang selama ini mendampingi proses penyembuhan Hanif. Tim segera saja menyiapkan final assessment untuk menindak lanjuti kabar bahagia ini.
Setiba di kantor, tim melakukan rapat khusus dengan pimpinan FBA. Dari hasil assessment dan mempertimbangkan perkembangan terbarukan. Lantas, FBA memutuskan untuk terus mendampingi Hanif dengan menyediakan beberapa ekor kambing sebagai alih.
Tak ada rotan yang tak retak. Di awal pendampingan, salah satu kambing mati ditabrak motor penduduk setempat. Kejadian ini justru memompa Hanif untuk semakin giat menjaga ternak miliknya.
20 Juli 2020, saat tim FBA kembali mendatangi kediaman Hanif di Gampong Cot Preh, Kuta Baro, Aceh Besar. Tim tak langsung disambut oleh Hanif atau keluarganya. Beberapa jemuran yang masih basah tampak tergeletak di teras bangunan beton itu. Suasana senyap, tak ada tanda kehidupan di dalamnya. Suasana pun semakin mendebarkan kala ucapan salam yang dilontarkan oleh Kak Eli (perawat jiwa) tak ada jawabannya.
“Mungkin sudah keluar merekanya,” sebut salah satu diantara tim.
“Aci ta tanyong bak mak yang duk disideh, (Coba kita tanya pada ibu yang duduk di sana)” timbal lainnya.
Melihat tim yang kasak kusuk di perkarangan rumah Hanif, seorang ibu paruh baya yang merupakan tetangga Hanif lantas menghampiri kami yang sudah lama berdiri di depan rumah. “Mita Hanif, nyoe neuk (Cari Hanif ya, nak) ?” tanyanya penasaran.
“Beutoi mak, na Hanif di rumoh? (Betul mak, ada Hanif di rumah)?” tanya tim. “Sang na, ci cuba lewat pinto likot. Biasa jih ret nyan ji tamong u rumoh si Hanif. Nif, Hanif. Na ureung keuneuk meurumpok nyoe. Haniiif. (Harusnya ada. Coba buka pintu belakang. Biasanya ini jalur yang meraka pakai. Nif, Hanif. Ada tamu ini.)” panggil sang nenek dengan suara dan logat khas Aceh Besarnya.
Tak lama berselang dari itu. Pintu samping perlahan terbuka. Seorang laki-laki dengan muka basah keluar. Baju dan celana jeans yang dikenakannya pagi menjelang siang itu membuatnya semakin gagah perkasa.
Hanif Saputra, pemuda yang pernah terlibat narkoba, disabilitas psikososial/gangguan kejiwaan, yang dulu sering menyakiti diri sendiri dan bahkan merusak lingkungan sekitarnya. Kini telah berubah menjadi sosok yang menawan bak aktor drama Korea. Setidaknya itu lah yang saya rasakan saat itu. Pertemuan pertama dengan Hanif tak memunculkan kesan bahwa Hanif pernah diterpa kondisi yang menakutkan seperti tergambarkan di atas. Hanif yang saya lihat pagi itu adalah pemuda yang siap mengoncang seluruh isi dunia.
“Yang paling penting ilmu. Sudah sekolah tidak ada. Jangan sampai mengaji juga tidak” jawab Hanif kala ditanya bagaimana cita-cita nya dengan dunia pendidikan.
“Geukhen le ayah, Nif nyang penting beu yakin. Nyan nyang akan peutunyok tanyoe jeut ke ureung. Wate ta meungon pun beu na ta pileh meubacut. Tanyoe ta meungon deungon ureung peulara binatang hareum, maka jeut ke ureung peulara binatang hareum cit. Fokus keu buet droe, bek na fokus ke buet nyang hana perle (Ayah menyampaikan ke Hanif. Nif, yang penting yakin. Itu yang akan membawa kita menjadi orang sukses. Kawan pun harus dipilih. Jika teman kita adalah mereka yang memelihara binatang haram, maka kita pun akan terikuti suatu harinya. Fokus ke pekerjaan yang baik saja. Jangan tergoda untuk hal yang menyesatkan.)” Jelas Hanif menirukan kalimat yang dilontarkan ayahnya.
Saat ditanya lebih lanjut hal apa yang menyebabkan sang ayah berpesan seperti ini. Hanif hanya terpaku malu seakan menyesali perbuatan yang ia lakoni tempo dulu. Walau demikian, masa lalu bukan untuk disesali tapi ia laksana alat ukir yang dengannya membantu Hanif mengukir kisah di masa depan indah dan menawan. Salah satunya, Hanif bercita agar ternak yang ia jaga saat ini mampu menghantarkan ia menjadi sosok pengusaha kambing yang memiliki peternakan mandiri. Mempekerjakan pemuda-pemuda putus sekolah yang ada di kampungnya.
Hanif Saputra, pemuda dengan seribu satu kisah, telah mengajarkan kita semua bagaimana hidup sebenarnya. Kala Allah Swt sebagai tujuan, maka hidup pun akan terarah.
Tapi siapa sangka, sosok pemuda yang satu ini dan di usianya yang masih belia. Ia telah dihadapkan pada pilihan hidup yang tidak semua orang mampu
melakoninya. Disabilitas psikososial atau gangguan kejiwaan telah menghiasi perjalanannya di usia muda. Kondisi percerain orang tua dan tekanan sosial telah menghantarkannya menikmati sensasi sesaat yang ditawarkan oleh narkoba hingga ia mengalami disabilitas psikososial atau gangguan kejiwaan.
Kejadian tragis menimpa keluarga Hanif ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk mengakhiri ikatan suci pernikahan. Hanif yang saat itu masih berumur belasan tahun harus merasakan dampak dari perceraian itu. Kekurangan kasih sayang, perhatian, dan cinta dari kedua orang tua menyebabkan Hanif mengurung diri. Ditambah dengan kondisi sang ibu yang memilih profesi yang tak lazim untuk menyambung ekonomi keluarganya. Mengemis adalah lakon yang dipilih ibunya. “Hanif malu, sangat malu,” ungkapnya. Kecewa dan bingung akan kisah hidup yang ada. Hanif melampiaskan diri pada narkoba berjenis sabu. Lama ia terbuai dalam lamunan sesaat akan sabu-sabu menyebabkan si bungsu tak dapat mengontrol emosinya. Acap kali, ia merusak perkarangannya. Memukul orang yang berada di sekitarnya. Jangan diharapkan adanya komunikasi yang baik yang terjalin dengannya saat itu. Bahkan menganiaya diri sendiri juga kerap dilakukannya.
‘Keanehan’ yang terjadiSaban hari, kondisi Hanif semakin tak terurus. Laporan yang tim Forum Bangun Aceh/FBA terima dari salah satu Community Organizer (CO-staf lapangan) yang selama ini mendampingi penderita disabilitas psikososial dikawasan Kuta Baro, Aceh Besar menyebutkan bahwa obat untuk Hanif tersalurkan dengan lancar. Namun sayang sekali, pada praktiknya Hanif tidak pernah mengkonsumsi obat tersebut. Kemana? Wallahualam. Di lain sisi, sang ibu masih tetap saja melakoni profesi tersebut. Meski binaan dan bantuan dari aparatur gampong untuk membantunya lebih mandiri secara financial tampaknya tak berpengaruh besar padanya. Mengemis masih terus dilakukannya. Hanif semakin tak terperhatikan.
Perlahan tapi pastiTapi bukan Hanif namanya, jika tidak berhasil bangkit dari segala keterpurukan yang sedang menimpanya saat itu. Awal mula perdampingan, tim dari FBA belum berhasil menemui Hanif secara langsung. Kondisinya saat itu yang tak menerima pendatang baru dalam hidupnya. Jika terlalu dipaksakan maka ia akan merusak dan bahkan akan menyakiti diri sendiri. Maka, strategi yang dilakukan pada awalnya adalah melakukan pendekatan melalui sepupu Hanif, Ida namanya. Melalui Ida, tim berhasil mengontrol perkembangan Hanif. Saban hari, cahaya kehidupan terpancar cerah dari diri Hanif. Ia sudah mau berkomunikasi, mengontrol emosi, tidak lagi memukul, menyakiti diri sendiri, dan merusak pekarangan. Obat pun semakin rajin ia konsumsi. Hanif semakin tumbuh baik.
Maka, kala kondisi Hanif sudah menunjukkan perkembangan pesat. Tim FBA yang sejak awal itu didampingi oleh beberapa perawat dari puskesmas terdekat melakukan assessment dengan tujuan mengukur sejauh mana kesiapan Hanif mengelola kegiatan bersifat produktif.
Passion yang tersembunyiTim FBA, dan didukung oleh perawat jiwa Puskesmas Kuta Baro, suatu waktu mengajak Hanif untuk berkelilingi ke sebuah peternakan kambing yang terletak tak jauh dari kediamannya. Tiba dilokasi. Hanif dengan cekatan berbicara dengan pemilik peternakan. Dari jauh tim hanya menyaksikan mereka berbincang tanpa ikut terlibat dalam perbincangan dua lelaki tersebut.
“Hanif jeut magang disinoe, bg? (Hanif boleh magang di sini, bg?)” tanya tim FBA ke pemilik peternakan kambing tersebut. “Nyoe Hanif, hana cocok le untuk magang kak. Jih bah dipeulara kameng laju keudroe. (Hanif tidak cocok untuk magang di sini, kak. Dia sudah lebih pantas untuk mengelola ternaknya sendiri)” jawab pemilik peternakan. “Hanif sangat siap. Dia sudah mengetahui tak hanya ilmu dasar bagaimana merawat ternak tapi juga bagaimana berkomunikasi dengannya. Kedengarannya weird tapi itu lah kelebihannya yang tak semua orang ‘pemilik kambing miliki’. Coba lihat cara ia memperhatinkan ternak itu.” Sebutnya sambil menunjuk kearah Hanif yang berada di samping kandang.
Bak siang menjemput malam. Kabar ini tentu menjadi hadiah bagi tim FBA yang selama ini mendampingi proses penyembuhan Hanif. Tim segera saja menyiapkan final assessment untuk menindak lanjuti kabar bahagia ini.
Setiba di kantor, tim melakukan rapat khusus dengan pimpinan FBA. Dari hasil assessment dan mempertimbangkan perkembangan terbarukan. Lantas, FBA memutuskan untuk terus mendampingi Hanif dengan menyediakan beberapa ekor kambing sebagai alih.
Tak ada rotan yang tak retak. Di awal pendampingan, salah satu kambing mati ditabrak motor penduduk setempat. Kejadian ini justru memompa Hanif untuk semakin giat menjaga ternak miliknya.
20 Juli 2020, saat tim FBA kembali mendatangi kediaman Hanif di Gampong Cot Preh, Kuta Baro, Aceh Besar. Tim tak langsung disambut oleh Hanif atau keluarganya. Beberapa jemuran yang masih basah tampak tergeletak di teras bangunan beton itu. Suasana senyap, tak ada tanda kehidupan di dalamnya. Suasana pun semakin mendebarkan kala ucapan salam yang dilontarkan oleh Kak Eli (perawat jiwa) tak ada jawabannya.
“Mungkin sudah keluar merekanya,” sebut salah satu diantara tim.
“Aci ta tanyong bak mak yang duk disideh, (Coba kita tanya pada ibu yang duduk di sana)” timbal lainnya.
Melihat tim yang kasak kusuk di perkarangan rumah Hanif, seorang ibu paruh baya yang merupakan tetangga Hanif lantas menghampiri kami yang sudah lama berdiri di depan rumah. “Mita Hanif, nyoe neuk (Cari Hanif ya, nak) ?” tanyanya penasaran.
“Beutoi mak, na Hanif di rumoh? (Betul mak, ada Hanif di rumah)?” tanya tim. “Sang na, ci cuba lewat pinto likot. Biasa jih ret nyan ji tamong u rumoh si Hanif. Nif, Hanif. Na ureung keuneuk meurumpok nyoe. Haniiif. (Harusnya ada. Coba buka pintu belakang. Biasanya ini jalur yang meraka pakai. Nif, Hanif. Ada tamu ini.)” panggil sang nenek dengan suara dan logat khas Aceh Besarnya.
Tak lama berselang dari itu. Pintu samping perlahan terbuka. Seorang laki-laki dengan muka basah keluar. Baju dan celana jeans yang dikenakannya pagi menjelang siang itu membuatnya semakin gagah perkasa.
Hanif Saputra, pemuda yang pernah terlibat narkoba, disabilitas psikososial/gangguan kejiwaan, yang dulu sering menyakiti diri sendiri dan bahkan merusak lingkungan sekitarnya. Kini telah berubah menjadi sosok yang menawan bak aktor drama Korea. Setidaknya itu lah yang saya rasakan saat itu. Pertemuan pertama dengan Hanif tak memunculkan kesan bahwa Hanif pernah diterpa kondisi yang menakutkan seperti tergambarkan di atas. Hanif yang saya lihat pagi itu adalah pemuda yang siap mengoncang seluruh isi dunia.
“Yang paling penting ilmu. Sudah sekolah tidak ada. Jangan sampai mengaji juga tidak” jawab Hanif kala ditanya bagaimana cita-cita nya dengan dunia pendidikan.
“Geukhen le ayah, Nif nyang penting beu yakin. Nyan nyang akan peutunyok tanyoe jeut ke ureung. Wate ta meungon pun beu na ta pileh meubacut. Tanyoe ta meungon deungon ureung peulara binatang hareum, maka jeut ke ureung peulara binatang hareum cit. Fokus keu buet droe, bek na fokus ke buet nyang hana perle (Ayah menyampaikan ke Hanif. Nif, yang penting yakin. Itu yang akan membawa kita menjadi orang sukses. Kawan pun harus dipilih. Jika teman kita adalah mereka yang memelihara binatang haram, maka kita pun akan terikuti suatu harinya. Fokus ke pekerjaan yang baik saja. Jangan tergoda untuk hal yang menyesatkan.)” Jelas Hanif menirukan kalimat yang dilontarkan ayahnya.
Saat ditanya lebih lanjut hal apa yang menyebabkan sang ayah berpesan seperti ini. Hanif hanya terpaku malu seakan menyesali perbuatan yang ia lakoni tempo dulu. Walau demikian, masa lalu bukan untuk disesali tapi ia laksana alat ukir yang dengannya membantu Hanif mengukir kisah di masa depan indah dan menawan. Salah satunya, Hanif bercita agar ternak yang ia jaga saat ini mampu menghantarkan ia menjadi sosok pengusaha kambing yang memiliki peternakan mandiri. Mempekerjakan pemuda-pemuda putus sekolah yang ada di kampungnya.
Hanif Saputra, pemuda dengan seribu satu kisah, telah mengajarkan kita semua bagaimana hidup sebenarnya. Kala Allah Swt sebagai tujuan, maka hidup pun akan terarah.