Bukankah Setiap Kita Butuh Teman?
Oleh Ayu 'Ulya
Dua buah motor berkecepatan sedang bergerak beriringan membelah jalan utama Banda Aceh-Medan. Sesekali angin jalanan berdesing tajam, meremangkan bulu roma dan memekakkan telinga, yang berasal dari truk- truk raksasa berkecepatan tinggi lewat silih berganti. Tepat pukul 14.00 WIB, sang surya bersinar ceria sembari menggoda bulir-bulir peluh untuk bangkit. Beruntung, rumah Aan Murati—penerima manfaat (beneficiaries) Program Aceh Community Based Inclusive Development (ACBID)—di Desa Meunasah Krueng, Kecamatan Ingin Jaya, ternyata terletak cukup dekat dari jalan raya.
Rabu, 3 November 2020, merupakan kali pertama bagi saya—dan entah puluhan kali ke berapa bagi Mikraj, sang Community Organizer (CO)—menapakkan kaki ke rumah Aan. Kami memarkirkan motor di halaman belakang rumah. Dengan santai, Mikraj mengajak saya masuk melalui pintu dapur dari sisi belakang rumah. Hati saya agak ciut. Namun Mikraj tampak anteng- anteng saja. Dia sama sekali tidak terlihat seperti sesosok tamu yang berkunjung. Dia justru lebih tampak seperti anggota keluarga yang pulang ke rumahnya sendiri.
Dari sisi pintu dapur yang terbuka, saya melihat seorang perempuan paruh baya, berdaster dengan rambut yang dikucir ke belakang, sedang memasak. Aroma pedas dan harumnya tumisan menyeruak ke seluruh penjuru dapur. Di sisinya, berdiri seorang anak perempuan, berkerudung coklat dengan setelan baju rumah. Dia tampak serius memotong- motong bawang dan tomat.
Saat kami mengucapkan salam. Sang ibu tampak semringah melihat kehadiran Mikraj. Aan, yang merasakan tubuh ibunya bergerak menjauh, akhirnya ikut mengalihkan pandangannya ke arah kami. Menyadari kedatangan Mikraj, Aan pun ikut tersenyum lebar. Kemudian, ketiga perempuan itu tampak mulai bercakap-cakap ringan. Sebahagian percakapan mereka dalam aksen Aceh Besar yang kental mampu saya pahami. Namun, sebahagian percakapan lainnya dengan menggunakan isyarat jemari menjadi agak sulit saya mengerti.
Sepersekian detik kemudian, para penghuni rumah tersebut baru menyadari bahwa Mikraj tak datang seorang diri. Awalnya, saya merasa agak kikuk dan hanya mampu tersenyum canggung. Namun, kehadiran saya langsung disambut hangat Aan dan Ibunya. Saya pun kembali bernapas lega.
Kemudian Mak Anida, ibunda Aan, dengan santun mempersilakan kami menunggu di ruang tamu. Beberapa menit kemudian, Mak Anida kembali dengan beberapa gelas teh hangat, roti tawar, dan keukarah (kudapan khas Aceh). Dia meminta kami menikmati penganan tersebut sembari menunggunya melaksanakan salat zuhur. Kami setuju. Mak Anida pun berlalu. Adapun Aan ternyata sudah kabur sedari tadi. Menurut informasi dari sang adik, dia buru-buru mandi dan mempersiapkan diri.
Ini merupakan suasana pertemuan yang hangat sekaligus aneh. Begitu banyak hal baru yang berkecamuk dalam pikiran saya. Dari tampilan Aan yang terlihat seperti gadis 20-an tahun, padahal menurut informasi usianya telah menginjak angka 38. Hingga, keterbukaannya dalam berinteraksi, bahkan dengan orang yang baru dikenalnya.
Sepersekian menit kemudian, Aan muncul kembali, dalam kondisi segar dan rapi. Lalu Aan pun ikut duduk di sofa, persis di sisi kanan kami. Dia terlihat nyaman dan tenang. Bahkan melempar senyum kepada saya, seseorang yang bahkan belum ia kenal.
Lalu, Mikraj melafalkan kalimat-kalimat pendek sembari menggerak- gerakkan kedua tangannya pada Aan. Dia menjelaskan kepada Aan bahwa pada hari itu mereka tidak pergi keluar rumah untuk berkegiatan. “Hari ini, kita di rumah aja. Ngomong-ngomong ya.” Jelas Mikraj.
Aan tampak agak kecewa. Untuk sesaat, Ia memanyunkan bibirnya. Lalu langsung berlalu, dia masuk ke kamarnya. Jiwa saya sempat histeris namun saya bergeming. Mikraj tetap terlihat tenang. Dia seakan sudah sepenuhnya mengerti polah tingkah Aan. Tak berapa lama, Mak Anida muncul dengan setelan gamis dan kerudung yang tak kalah rapi dari Aan. Kemudian, dia pun ikut mengobrol bersama kami. Mikraj memperkenalkan saya sebagai tim penulis Forum Bangun Aceh (FBA) serta meminta izin untuk menuliskan kisah Aan, Mak Anida pun mencelutuk.
“Semenjak troh gop nyan, neuk ken, alhamdulillah that. Biasa sidroe Aan.”
Menurut Mak Anida, semenjak kehadiran Mikraj, dia merasa sangat terbantu. Aan yang dulunya berkepribadian tertutup, bahkan hampir tidak dikenali oleh masyarakat di lingkungannya, kini sudah aktif berkegiatan. Melalui Program ACBID yang diinisiasi FBA, Aan kembali belajar bersosialisasi dan mulai membuka diri.
“Nyoe Aan teubit u luwa, hantom lon peuleuh sidro. Pendengaran jih ken kureng.” Jelas Mak Anida.
Aan mulai belajar berkomunikasi dengan bahasa isyarat sejak menempuh pendidikan di SDLB, SMPLB, dan SMALB. Di sana ia juga dilatih berinteraksi, namun masih sebatas sesama teman-teman disabilitas.
Ada kalanya Aan ingin berkegiatan di luar rumah. Namun, pihak keluarga tidak mengizinkan Aan pergi seorang diri dikarenakan disabilitas sensorik (pendengaran) yang dialaminya. Aan adalah anak pertama dari enam bersaudara. Seluruh anggota keluarganya memiliki rutinitas yang sangat padat. Mereka tidak memiliki cukup waktu luang untuk menemani Aan beraktivitas. Jadinya, Aan kerap berada di rumah saja.
Namun, sejak kemunculan Mikraj, Aan jadi dapat terkoneksi dengan teman-teman non disabilitas di luar rumah. Aan bahkan bisa belajar tata cara berkomunikasi secara tertulis dengan lebih baik melalui WhatsApp Group (WGA) yang mereka bentuk. Dari kalimat-kalimat yang dulunya kerap ditulis terbalik-balik dan terpenggal-penggal, menjadi kalimat yang lebih runut dan utuh. Lalu, Mak Anida pun melanjutkan curhatannya. “Tom geutemanyong lee Aan, ‘Ibu, Ibu, Aan kenapa enggak bisa ngomong?’, Alueh nyan lon moe dilon.” Kenang Mak Anida dengan mata berkaca-kaca.
Ketika Aan tidak berkegiatan atau sendirian, dia jadi kerap mempertanyakan kondisinya. Hal itu mencabik-cabik hati Mak Anida. Walau demikian, Mak Anida selalu berusaha menjelaskan kepada anak gadisnya bahwa itu semua pemberian Allah. Sebagai seorang ibu, Mak Anida ikhlas menerima kondisi Aan. Dia sekeluarga sangat mendukung Aan agar terus berkembang, belajar, berkarya, dan mencoba memenuhi kebutuhan finansialnya.
Kata Mak Anida, selama mengikuti program dari FBA tersebut, Aan belajar keterampilan baru seperti menjahit dan mengukir inai. Selain itu, ia juga mempelajari ulang kerajinan yang dulu sempat ia tinggalkan, yakni membuat dompet dan menghias payung pengantin.
Seakan paham topik yang sedang dibicarakan ibunya, Aan kembali muncul dari kamarnya sembari menggendong dua payung kuning dengan hiasan payet keemasan. Refleks, saya mengacungkan jempol ke arah Aan. Dia pun tampak senang dan tersenyum bangga.
Lalu, kedua payung itu dibukanya. Terpampang motif pintu Aceh yang mendominasi hiasan payung. Kemudian, Aan memperagakan cara menjahit payet payung pengantin tersebut. Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, Aan pun larut menjahit.
Mak Anida menjelaskan bahwa Aan sangat suka menjahit payet. Keterampilan tersebut semakin hari semakin serius ditekuninya. Kini, jika ada warga yang penasaran mempertanyakan kegiatan Aan, Mak Anida sudah dapat menjelaskannya dengan penuh percaya diri.
Semenjak bergabung bersama Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Maju Bersama di Desa Meunasah Krueng, Aan menjadi semakin aktif berinteraksi dan berkarya. Bahkan menurut pantauan Mak Anida, Aan mengerjakan kerajinan yang diajarkan itu dengan begitu serius hingga larut malam.
Penasaran, saya bertanya langsung kepada Aan. Bermodal isyarat tubuh seadanya, saya mencoba mengonfirmasi perasaannya.
“Menjahit,” tanya saya sambil memperagakan gerakan menjahit, “Enggak capek?” Dengan sigap, Aan merespons.
“Eng..gak.” Aan melambaikan tangan, menggelengkan kepala, dan memanyunkan bibirnya. “Seenaang.” Aan menepuk-nepuk lembut tangan kanannya di atas dada, tersenyum lebar, dengan sorot mata berbinar.
Mak Anida tampak bahagia dengan respons yang Aan beri. Kemudian, terkait harapan ke depan atau problematika yang masih dihadapi Aan, Mak Anida berpesan.
“Masalah yang kayem terjadi bak Aan, wate ureng geujak u rumoh, cuma geumarit ngen lon, nyan beungeh jih. Beu tasapa.” Jelas Mak Anida.
Mak Anida berharap agar masyarakat semakin terbuka dalam menerima kehadiran Aan. Ketika berkunjung ke rumah, ada baiknya agar Aan turut disapa dan dilibatkan dalam percakapan. Diberi semangat dan juga nasihat. Menurut sang ibu, Aan adalah anak yang peka, senang berinteraksi dan berteman. Sehingga, peluang yang diberikan kepada Aan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang diinisiasikan FBA terasa sungguh berharga bagi Aan dan juga keluarganya.[]
Rabu, 3 November 2020, merupakan kali pertama bagi saya—dan entah puluhan kali ke berapa bagi Mikraj, sang Community Organizer (CO)—menapakkan kaki ke rumah Aan. Kami memarkirkan motor di halaman belakang rumah. Dengan santai, Mikraj mengajak saya masuk melalui pintu dapur dari sisi belakang rumah. Hati saya agak ciut. Namun Mikraj tampak anteng- anteng saja. Dia sama sekali tidak terlihat seperti sesosok tamu yang berkunjung. Dia justru lebih tampak seperti anggota keluarga yang pulang ke rumahnya sendiri.
Dari sisi pintu dapur yang terbuka, saya melihat seorang perempuan paruh baya, berdaster dengan rambut yang dikucir ke belakang, sedang memasak. Aroma pedas dan harumnya tumisan menyeruak ke seluruh penjuru dapur. Di sisinya, berdiri seorang anak perempuan, berkerudung coklat dengan setelan baju rumah. Dia tampak serius memotong- motong bawang dan tomat.
Saat kami mengucapkan salam. Sang ibu tampak semringah melihat kehadiran Mikraj. Aan, yang merasakan tubuh ibunya bergerak menjauh, akhirnya ikut mengalihkan pandangannya ke arah kami. Menyadari kedatangan Mikraj, Aan pun ikut tersenyum lebar. Kemudian, ketiga perempuan itu tampak mulai bercakap-cakap ringan. Sebahagian percakapan mereka dalam aksen Aceh Besar yang kental mampu saya pahami. Namun, sebahagian percakapan lainnya dengan menggunakan isyarat jemari menjadi agak sulit saya mengerti.
Sepersekian detik kemudian, para penghuni rumah tersebut baru menyadari bahwa Mikraj tak datang seorang diri. Awalnya, saya merasa agak kikuk dan hanya mampu tersenyum canggung. Namun, kehadiran saya langsung disambut hangat Aan dan Ibunya. Saya pun kembali bernapas lega.
Kemudian Mak Anida, ibunda Aan, dengan santun mempersilakan kami menunggu di ruang tamu. Beberapa menit kemudian, Mak Anida kembali dengan beberapa gelas teh hangat, roti tawar, dan keukarah (kudapan khas Aceh). Dia meminta kami menikmati penganan tersebut sembari menunggunya melaksanakan salat zuhur. Kami setuju. Mak Anida pun berlalu. Adapun Aan ternyata sudah kabur sedari tadi. Menurut informasi dari sang adik, dia buru-buru mandi dan mempersiapkan diri.
Ini merupakan suasana pertemuan yang hangat sekaligus aneh. Begitu banyak hal baru yang berkecamuk dalam pikiran saya. Dari tampilan Aan yang terlihat seperti gadis 20-an tahun, padahal menurut informasi usianya telah menginjak angka 38. Hingga, keterbukaannya dalam berinteraksi, bahkan dengan orang yang baru dikenalnya.
Sepersekian menit kemudian, Aan muncul kembali, dalam kondisi segar dan rapi. Lalu Aan pun ikut duduk di sofa, persis di sisi kanan kami. Dia terlihat nyaman dan tenang. Bahkan melempar senyum kepada saya, seseorang yang bahkan belum ia kenal.
Lalu, Mikraj melafalkan kalimat-kalimat pendek sembari menggerak- gerakkan kedua tangannya pada Aan. Dia menjelaskan kepada Aan bahwa pada hari itu mereka tidak pergi keluar rumah untuk berkegiatan. “Hari ini, kita di rumah aja. Ngomong-ngomong ya.” Jelas Mikraj.
Aan tampak agak kecewa. Untuk sesaat, Ia memanyunkan bibirnya. Lalu langsung berlalu, dia masuk ke kamarnya. Jiwa saya sempat histeris namun saya bergeming. Mikraj tetap terlihat tenang. Dia seakan sudah sepenuhnya mengerti polah tingkah Aan. Tak berapa lama, Mak Anida muncul dengan setelan gamis dan kerudung yang tak kalah rapi dari Aan. Kemudian, dia pun ikut mengobrol bersama kami. Mikraj memperkenalkan saya sebagai tim penulis Forum Bangun Aceh (FBA) serta meminta izin untuk menuliskan kisah Aan, Mak Anida pun mencelutuk.
“Semenjak troh gop nyan, neuk ken, alhamdulillah that. Biasa sidroe Aan.”
Menurut Mak Anida, semenjak kehadiran Mikraj, dia merasa sangat terbantu. Aan yang dulunya berkepribadian tertutup, bahkan hampir tidak dikenali oleh masyarakat di lingkungannya, kini sudah aktif berkegiatan. Melalui Program ACBID yang diinisiasi FBA, Aan kembali belajar bersosialisasi dan mulai membuka diri.
“Nyoe Aan teubit u luwa, hantom lon peuleuh sidro. Pendengaran jih ken kureng.” Jelas Mak Anida.
Aan mulai belajar berkomunikasi dengan bahasa isyarat sejak menempuh pendidikan di SDLB, SMPLB, dan SMALB. Di sana ia juga dilatih berinteraksi, namun masih sebatas sesama teman-teman disabilitas.
Ada kalanya Aan ingin berkegiatan di luar rumah. Namun, pihak keluarga tidak mengizinkan Aan pergi seorang diri dikarenakan disabilitas sensorik (pendengaran) yang dialaminya. Aan adalah anak pertama dari enam bersaudara. Seluruh anggota keluarganya memiliki rutinitas yang sangat padat. Mereka tidak memiliki cukup waktu luang untuk menemani Aan beraktivitas. Jadinya, Aan kerap berada di rumah saja.
Namun, sejak kemunculan Mikraj, Aan jadi dapat terkoneksi dengan teman-teman non disabilitas di luar rumah. Aan bahkan bisa belajar tata cara berkomunikasi secara tertulis dengan lebih baik melalui WhatsApp Group (WGA) yang mereka bentuk. Dari kalimat-kalimat yang dulunya kerap ditulis terbalik-balik dan terpenggal-penggal, menjadi kalimat yang lebih runut dan utuh. Lalu, Mak Anida pun melanjutkan curhatannya. “Tom geutemanyong lee Aan, ‘Ibu, Ibu, Aan kenapa enggak bisa ngomong?’, Alueh nyan lon moe dilon.” Kenang Mak Anida dengan mata berkaca-kaca.
Ketika Aan tidak berkegiatan atau sendirian, dia jadi kerap mempertanyakan kondisinya. Hal itu mencabik-cabik hati Mak Anida. Walau demikian, Mak Anida selalu berusaha menjelaskan kepada anak gadisnya bahwa itu semua pemberian Allah. Sebagai seorang ibu, Mak Anida ikhlas menerima kondisi Aan. Dia sekeluarga sangat mendukung Aan agar terus berkembang, belajar, berkarya, dan mencoba memenuhi kebutuhan finansialnya.
Kata Mak Anida, selama mengikuti program dari FBA tersebut, Aan belajar keterampilan baru seperti menjahit dan mengukir inai. Selain itu, ia juga mempelajari ulang kerajinan yang dulu sempat ia tinggalkan, yakni membuat dompet dan menghias payung pengantin.
Seakan paham topik yang sedang dibicarakan ibunya, Aan kembali muncul dari kamarnya sembari menggendong dua payung kuning dengan hiasan payet keemasan. Refleks, saya mengacungkan jempol ke arah Aan. Dia pun tampak senang dan tersenyum bangga.
Lalu, kedua payung itu dibukanya. Terpampang motif pintu Aceh yang mendominasi hiasan payung. Kemudian, Aan memperagakan cara menjahit payet payung pengantin tersebut. Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, Aan pun larut menjahit.
Mak Anida menjelaskan bahwa Aan sangat suka menjahit payet. Keterampilan tersebut semakin hari semakin serius ditekuninya. Kini, jika ada warga yang penasaran mempertanyakan kegiatan Aan, Mak Anida sudah dapat menjelaskannya dengan penuh percaya diri.
Semenjak bergabung bersama Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Maju Bersama di Desa Meunasah Krueng, Aan menjadi semakin aktif berinteraksi dan berkarya. Bahkan menurut pantauan Mak Anida, Aan mengerjakan kerajinan yang diajarkan itu dengan begitu serius hingga larut malam.
Penasaran, saya bertanya langsung kepada Aan. Bermodal isyarat tubuh seadanya, saya mencoba mengonfirmasi perasaannya.
“Menjahit,” tanya saya sambil memperagakan gerakan menjahit, “Enggak capek?” Dengan sigap, Aan merespons.
“Eng..gak.” Aan melambaikan tangan, menggelengkan kepala, dan memanyunkan bibirnya. “Seenaang.” Aan menepuk-nepuk lembut tangan kanannya di atas dada, tersenyum lebar, dengan sorot mata berbinar.
Mak Anida tampak bahagia dengan respons yang Aan beri. Kemudian, terkait harapan ke depan atau problematika yang masih dihadapi Aan, Mak Anida berpesan.
“Masalah yang kayem terjadi bak Aan, wate ureng geujak u rumoh, cuma geumarit ngen lon, nyan beungeh jih. Beu tasapa.” Jelas Mak Anida.
Mak Anida berharap agar masyarakat semakin terbuka dalam menerima kehadiran Aan. Ketika berkunjung ke rumah, ada baiknya agar Aan turut disapa dan dilibatkan dalam percakapan. Diberi semangat dan juga nasihat. Menurut sang ibu, Aan adalah anak yang peka, senang berinteraksi dan berteman. Sehingga, peluang yang diberikan kepada Aan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang diinisiasikan FBA terasa sungguh berharga bagi Aan dan juga keluarganya.[]