Forum Bangun Aceh (FBA)
  • Beranda
  • Tentang
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Dewan Pembina
    • Dewan Pengawas
    • Dewan Eksekutif
    • Mitra
  • Layanan
    • Pendidikan
    • TK and PAUD Nizamiya
    • Pemberdayaan Ekonomi
    • Disabilitas
    • Proyek ACBID
  • publikasi
    • Galeri
    • Cerita Perubahan
    • Buku dan Cerita Perubahan
  • Hubungi Kami
  • Beranda
  • Tentang
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Dewan Pembina
    • Dewan Pengawas
    • Dewan Eksekutif
    • Mitra
  • Layanan
    • Pendidikan
    • TK and PAUD Nizamiya
    • Pemberdayaan Ekonomi
    • Disabilitas
    • Proyek ACBID
  • publikasi
    • Galeri
    • Cerita Perubahan
    • Buku dan Cerita Perubahan
  • Hubungi Kami

Perempuan Tangguh Pembangkit Ekonomi Keluarga Zulfikar 
Oleh Yelli Sustarina

Cerita ketangguhan perempuan Aceh sepertinya tidak    sebatas    pada    kisah Laksamana Keumalahayati atau pun Cut Nyak Dhien saja. Sebab, masih banyak kisah perempuan Aceh lain yang patut dituliskan karena berjuang menjalani kerasnya kehidupan. Seperti kisah perempuan yang satu ini berjuang dibarisan depan, sebagai tulang punggung keluarga. Bukan karena ia ingin tampil paling depan, tapi keadaanlah yang membuatnya harus berada di depan.
Adalah Khairani, perempuan 40 tahun dengan suaminya yang mengalami gangguan psikologis. Trauma karena konflik bersenjata yang pernah dulu terjadi di Aceh, menjadi salah satu faktor pendukung dari banyak faktor gangguan psikologis yang dialami Zulfikar suaminya.

“Dulu abang pernah terkejut dengan bom yang tiba-tiba meletus didekatnya. Kejadiannya di waktu pagi, saat abang membawa anak pertama kami jalan-jalan. Tiba-tiba, terdengar suara bom yang sangat keras hingga anak terlepas dari pangkuannya. Abang sempat terkena serpihan aspal di belakangnya sampai ia terluka,” jelas Khairani sambil menunjukkan bekas luka yang dialami suaminya.

Zulfikar hanyalah masyarakat sipil yang tidak ikut terlibat dalam konflik apa pun. Namun, ia tetap saja terkena imbas konflik. Bukan kali itu saja trauma yang dialami Zulfikar, tapi hampir setiap saat terlebih bila sedang terjadi kontak senjata. Pada saat itu, masyarakat sipil sering menjadi sasaran dari kedua belah pihak yang bertikai. Terutama bagi laki-laki muda seperti Zulfikar. Hidup dimasa konflik membuat Zulfikar dibungkam rasa takut yang mendalam.
Meskipun telah damai tidak berarti ingatan konflik hilang begitu saja. Sisa-sisa trauma masih membekas bagai gunung es yang hanya tampak kecil di permukaan, tapi memiliki akar yang begitu dalam. Damai tidak membuat masyarakat seperti Zulfikar merasa lega, walau ia tidak lagi mendengar suara senjata, tapi ia tidak bisa bekerja lantaran gangguan psikologis yang dialaminya.
 
Menurut cerita Khairani, pernah dulu Zulfikar hilang tiba-tiba sampai semua orang kampung sibuk mencarinya. “Waktu itu abang pamitan untuk mencari umpan kerbau, tapi sampai habis Magrib belum pulang-pulang hingga orang-orang kampung sibuk mencarinya. Setelah larut malam, tiba-tiba abang muncul dengan badan penuh lumpur.” Rupanya sebelum kejadian itu, Zulfikar sudah menunjukkan perilaku aneh seperti orang kesurupan. Hal itu diketahui warga saat mereka sama-sama pulang dari Gampong Tangse setelah menghadiri acara kenduri di sana. Keluarga pun berupaya mencari pengobatan untuk kesembuhan Zulfikar. Mereka membawanya ke orang pintar untuk diobati, tapi sakitnya tidak kunjung membaik. Hal ini dipersulit karena Zulfikar menolak semua pengobatan. Ia terlihat begitu gelisah   dan juga mengalami kecurigaan berlebih kepada orang lain.

Dalam situasi seperti itu, Khairani lah yang berjuang untuk mencari penghidupan dengan berjualan rujak di depan rumahnya, Desa Cot Trap, Tunom, Aceh Jaya. Sembari merawat suaminya, ia juga harus bekerja untuk membiayai ketiga anaknya. Apalagi di sekolah anaknya tidak pernah mendapat bantuan apa pun. “Padahal kehidupan kita sama juga dengan orang, malah lebih miris kita. Sebab, abang tidak bisa lagi bekerja. Malah saya yang di depan menggantikan posisi abang, tapi anak-anak kami tidak pernah mendapat bantuan dari sekolah. Ketika anak saya menanyakan kenapa kawannya dapat bantuan dan dia tidak, saya hanya bisa mengurut dada.”

Ada rasa kecewa yang menggantung di wajah Khairani. Sebab, tidak ada yang peduli tentang kehidupannya. Terlebih bantuan dari pihak desa atau pun kecamatan, seperti bantuan program keluarga harapan (PKH) tidak pernah menyambanginya. Namun, perempuan yang diperistri Zulfikar tahun 1999 ini mencoba bangkit dari kekecewaan itu. Khairani fokus dengan berjualan rujak untuk mencukupi kebutuhan hidup. ia yakin Tuhan tidak pernah menutup mata bagi hambanya yang mau berusaha.

Warung Rujak Istri ZulfikarZulfikar akhirnya mendapatkan pengobatan medis di Puskesmas Panga. Berangsur kesehatan mentalnya membaik. Ia dinyatakan pulih walau harus tetap mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Untuk membantu kemandirian Zulfikar, perawat jiwa dari Puskesmas Panga menyarankan kepada Forum Bangun Aceh (FBA) untuk memberikan pendampingan bagi keluarga Zulfikar. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan disabilitas psikososial dan keluarganya.

Pada Maret 2019, FBA melakukan pendampingan kepada Zulfikar dan keluarganya melalui program Aceh Comprehensive Community Mental Health (ACCMH). Setiap dua bulan sekali, Zulfikar dilibatkan dalam kegiatan yang dibuat oleh FBA, seperti Terapi Aktivitas Kelompok, Motivasi Religi. Selain itu, staf lapangan FBA, Julia juga melakukan assessment mendalam tentang apa yang dibutuhkan Zulfikar dan keluarganya. Rupanya mereka membutuhkan pendampingan ekonomi untuk membantu memperbaiki taraf kehidupan mereka. Hal yang paling memungkinkan ialah dengan mengembangkan usaha rujak istri Zulfikar.

Khairani yang mulanya membuka usaha jualan rujak di depan rumah kemudian pindah berjualan di Pantai Lueng Gayo. Sebab, disitu ramai pengunjung pantai yang memungkinkan rujak buatannya banyak pembeli. Berbekal barang seadanya, istri Zulfikar membuka warung rujak di pantai tersebut. Tak layak sebenarnya disebut warung karena tempat itu hanya mengandalkan tong peralatan masak Khairani yang atapnya dibuat dari terpal plastik. Kendatipun demikian, banyak juga orang yang mau membeli rujak buatan istri Zulfikar ini.

Namun, bila cuaca tidak bersahabat warung terpalnya diterbangkan angin pantai sehingga barang-barang dagangannya berhamburan. “Pernah dulu saat hujan badai semua lapak kami habis diterbangkan angin. Saya dan abang pun lari menyelamatkan diri, nggak kepikiran bagaimana jualan itu yang penting kami selamat.” Khairani kembali membangun usaha rujaknya karena dari itulah yang bisa mendatangkan penghasilan. Sedangkan Zulfikar, kadang-kadang membantu istrinya berjualan, entah itu membantu melayani pelanggan atau sekadar mencuci piring kotor. Namun, bila tiba musim berladang ia pun menanam padi di sana.

“Ini sekarang lagi besar air, jadi susah ke ladang. Di sini lah saya bantu-bantu istri berjualan rujak. Kalau bekerja sama orang susah, apalagi kondisi kita yang ‘tidak pas lagi’ mana mau orang mengajak kita bekerja,” ujar Zulfikar dengan perlahan saat diwawancarai, pada 9 November 2020. 

Pasca pulih dari sakit membuat Zulfikar susah mendapatkan pekerjaan, terlebih komunikasinya tidak begitu jelas dan lama dalam merespons. Hal itu sangat terlihat saat diwawancarai, Zulfikar lebih banyak diam dan berpikir lama sehingga dibantu istrinya menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan.
Ketika ditanya apakah bantuan yang diberikan FBA bermanfaat untuknya, Khairani seakan kehabisan kata untuk menjelaskan rasa senangnya. Ia sangat besyukur karena ada yang mau membantu membangun warung rujaknya. Pada Juni 2019, FBA memberikan bantuan modal usaha kepada keluarga Zulfikar. Modal tersebut kemudian digunakan untuk membangun warung semi permanen untuk usaha jualan rujak istrinya, Khairani.

Kehadiran warung rujak istri Zulfikar membawa angin segar bagi keluarganya karena dapat membantu membangkitkan perekonomian keluarga. Dengan adanya warung ini, tentunya dapat meyakinkan pembeli karena dagangannya tertata rapi. Dan ketika ada badai, Zulfikar dan Khairani tidak repot-repot mengemas barang-barangnya karena sudah ada warung tempat menyimpan peralatan masaknya. Selain itu, para pembeli bisa bersantai sambil menikmati rujak karena sudah disediakan beberapa kursi dan meja. Khairani mulai menambah isi warungnya dengan berjualan mie instan dan beberapa jenis minuman. Hasil dari jualan tersebutlah yang menghidupi keluarga kecil Zulfikar. Bahkan, ia juga sudah menyewa tanah tempat warungnya berdiri hingga tiga tahun ke depan.

Setahun berjalannya warung ini, keadaan ekonomi keluarga Zulfikar berangsur membaik. Sakitnya juga tidak pernah kambuh lagi. Dia memutuskan bersama-sama membangun warung rujak istrinya. Tidak masalah bagi Zulfikar bila bertugas mengelap meja atau pun sekadar membersihkan piring kotor. Baginya, Khairani adalah perempuan tangguh yang mau berjuang dan menerima kondisinya. Meskipun ia bukanlah pencari nafkah utama, tapi istrinya tetap setia bersama menjalani kehidupan dengannya.
​
Kini Zulfikar dan keluarganya sedikit lebih tenang karena mempunyai tempat usaha. Paling tidak untuk tiga tahun ke depan karena ia sudah menyewa tanah tersebut sampai tahun 2023. Namun dalam hati kecil Khairani, ia berharap suatu saat bisa membeli tanah tersebut dari hasil jerih payah usahanya, sehingga tidak perlu lagi menyewa setiap tahunnya.

Picture
​Copyright@ 2022, Forum Bangun Aceh (FBA), All Rights Reserved

tENTANG fba 

Forum Bangun Aceh (FBA) adalah organisasi non-pemerintah, non-partisan, berbadan hukum Yayasan. FBA didirikan sebagai organisasi lokal untuk respons bencana tsunami 2004. FBA kemudian bertransformasi menjadi organisasi pembangunan, dengan fokus utama di bidang pemberdayaan masyarakat dan pendidikan.

Kantor FBA

Jl. Tgk. Abdurrahman Mns. Meucap, No 50,
Desa Emperom, Kec. Jaya Baru,
Kota Banda Aceh 23237
Tel: 0651 - 45204
Email: info@fba.co.id